
Pemerintah Korea dan Indonesia sepakat untuk bekerjasama dalam pengembangan bio-teknologi, terutama rumput laut. Kegiatan yang diharapkan dapat dijalin meliputi tukar-menukar peneliti atau tenaga ahli lainnya, pengembangan SDM, termasuk diklat dan pemberdayaan masyarakat pesisir, penelitian dan pengembangannya. Bahkan termasuk pula untuk mendorong kerjasama kalangan swasta kedua negara, dalam bidang budidaya dan pengolahan rumput laut.
Area kerjasama tersebut termuat dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) yang ditandatangani oleh Widi Agoes Pratikto, Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan, dengan Kyoung-hoan Na, President Korea Institute of Industrial Technology (KITECH), sebuah Badan Pemerintah yang berfungsi mengembangkan teknologi. Penandatanganan MoU tersebut dari Indonesia disaksikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Perdagangan, adapun dari Korea oleh Menteri Perekonomian Berbasis Pengetahuan (Minister of Knowledge Economy). Acara berlangsung di sela-sela Indonesia-Korea CEO Business Dialog yang diselenggarakan oleh KADIN dan KCCI (Korea Chamber of Commerce and Industry) pada hari Sabtu, 7 Maret 2009 di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta.
Bentuk kerjasama yang paling kongkrit diharapkan dalam bidang bio-fuel dari rumput laut, sebagaimana hasil pembicaraan kunjungan pendahuluan Kepala Pusat Data dan Informasi DKP, Soen’an Hadi Poernomo, ke Korea pada akhir tahun lalu. Hal ini merupakan salah satu wujud nyata implementasi Visi Nasional Korea, yakni “Low Carbon, Green Growth”, sebagaimana yang dicanangkan oleh Presiden Lee Myung-bak pada HUT Republik Korea ke-60 tahun, tanggal 20 Agustus 2008 yang lalu.
Green Growth menjadi penggerak utama perubahan di Korea, dimulai dari kebijakan perekonomian sampai menjadi gaya hidup masyrakat. Konsepnya telah diintegrasikan ke dalam rencana nasional Korea, seputar enerji dan perubahan iklim. Dari Paket Stimulus Korea yang diluncurkan tgl 6 Januari 2009 senilai 38,5 miliar dolar AS, beberapa proyek utamanya menyangkut pada bio-fuel, yakni pembangunan ‘transportasi hijau’ atau program ‘kendaraan hijau’, dan enerji yang lebih bersih. Pada tahun 2030 diharapkan di Korea, pangsa enerji yang terbarukan menjadi 11 persen.
Rupanya impian dan harapan Korea dan Indonesia memiliki titik temu, yakni bersama-sama memperhatikan secara serius implikasi perubahan iklim terhadap kehidupan. Korea menyusun program kongkrit dikaitkan terhadap kebijakan enerji dan perekonomian. Adapun Indonesia mengaitkannya dengan kelautan dan lingkungannya, diantaranya dengan menyelenggarakan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Inisiative (CTI) Summit yang bertema “Lautan dan Perubahan Iklim” pada tgl 11-15 Mei 2009.
Pertemuan interest kedua negara ini juga sangat mungkin untuk saling mengisi. Indonesia sebagai negara kepulauan dan kelautan yang besar, memiliki lahan dan potensi budidaya rumput laut yang luas. Korea yang memiliki teknologi dan kebutuhan enerji yang tinggi, dapat bersinergi menggarap sumber enerji yang terbarukan tersebut. Lokasi yang dipertimbangkan untuk menjadi area kerjasama adalah propinsi Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan atau Bangka Belitung.
Pemakaian rumput laut sebagai sumber enerji memiliki kelebihan apabila dibandingkan dengan bio-fuel yang terambil dari bahan nabati daratan, seperti tebu, jagung, kelapa sawit, singkong dan lain-lain. Lahan di darat semakin sempit bersaing dengan peruntukan lahan bagi program ketahanan pangan dan pemukiman. Usaha bio-fuel ini bila pengembangannya menggunakan lahan hutan, tentu berimplikasi terhadap iklim global pula. Adapun rumput laut, hijaunya di sepanjang pantai diharapkan memiliki peran positif terhadap lingkungan.